Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., Psi
Ketua Umum PP Asosiasi Psikologi Islami Indonesia, Dekan Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Setiap bangsa dan setiap institusi memiliki tanggungjawab dan tugas untuk mengembangkan sumber daya manusia an
ggotanya. Dimensi-dimensi sumber daya manusia yang perlu memperoleh pengembangan lebih lanjut bukan hanya yang berkaitan dengan fisik, psikologis dan sosial, tapi juga spiritual.
Salah satu aspek psiko-spiritual yang dipandang penting adalah kelapangan dada. Kelapangan dada adalah suatu kondisi psiko-spiritual yang ditandai oleh kemampuan menerima berbagai kenyataan yang tidak menyenangkan dengan tenang dan terkendali.
Beberapa tahun belakangan ini dalam diri bangsa Indonesia terdapat berbagai kenyataan yang memprihatinkan. Orang Indonesia, yang sebelumnya dicitrakan sebagai bangsa yang lapang dada, ternyata sering menunjukkan berbagai reaksi yang bersifat negatif terhadap stimulus yang tidak menyenangkan.
Reaksi yang ditunjukkan seseorang saat menghadapi keadaan yang tidak menyenangkan bermacam-macam. Salah satunya adalah melakukan agresi membalas, yaitu menyerang balik secara fisik atau psikologis terhadap seseorang yang dianggap sebagai penyebab peristiwa yang tidak menyenangkan.
Reaksi yang lain adalah diam. Dalam hal ini secara lisan tidak bicara, tapi alam hati tetap menyimpan peristiwa yang tidak menyenangkan, bahkan traumatik. Salah satu kebiasaan yang diajarkan budaya, adalah diam itu emas (tidak berbicara itu mulia).
Dalam budaya Jawa, sikap diam sangat dijunjung tinggi. Orang Jawa menyebutkan konsep ngono yo ngono ning ojo ngono (secara harfiah: begitu ya begitu tapi jangan begitu). Maksudnya, orang boleh jadi merasa menderita, tapi jangan mengungkapkan penderitaan itu apa adanya.
Ciri Lapangan Dada
Kelapangan dada (al-basîth, as-samhah) adalah suatu kondisi psiko-spiritual yang ditandai oleh kemampuan menghayati realitas yang terjadi, menyadari bahwa realitas itu diciptakan oleh Allah SWT, dan kesediaan untuk menerima berbagai kenyataan yang boleh jadi tidak menyenangkan secara fisik dan psikologis.
Yang dimaksud kondisi psiko-spiritual adalah keadaan yang berada dalam diri seseorang yang berkaitan dengan perasaan dan pemikirannya sebagai makhluk Allah SWT. Kenyataan yang tidak menyenangkan adalah semua kondisi yang berada di dalam dan di luar diri, yang secara objektif tidak disukai seseorang. Semakin tinggi kelapangan dada seseorang semakin mampu ia menerima realitas yang beragam, termasuk yang tidak menyenangkan.
Sekurang-kurangnya terdapat tujuh ciri pribadi yang lapang dada : Pertama, kesadaran spiritual (spiritual awareness). Yaitu kesadaran bahwa keadaan yang tidak menyenangkan merupakan ujian dari Allah. Orang yang lapang dada adalah seseorang yang kokoh menghadapi berbagai kenyataan hidup dan memandang kenyataan hidup sebagai ujian. Kekokohan itu dapat dicapai bila seseorang dilatih atau diuji secara terus menerus oleh Allah (Qs. al-Ankabût [29]: 2).
Kedua, kesiapan psikologis (psychological preparatory). Berupa kesiapan untuk menerima stimulasi yang tidak menyenangkan. Setelah sadar bahwa orang yang kokoh atau hebat harus melewati banyak ujian, maka tumbuhlah dalam diri orang tersebut kesiapan untuk berhadapan dengan hal-hal yang tidak menyenangkan. Kesiapan ini merupakan respons atas kepastian datangnya ujian dari Allah (Qs. Âli ‘Imrân [3]: 186).
Ketiga, keyakinan akan kesanggupan diri menanggung beban. Yaitu keyakinan bahwa kesulitan yang ditanggung tak akan melebihi kesanggupan dirinya untuk menerima beban itu. Apapun ujian yang bakal atau dijalani seseorang, pasti telah tersedia kemampuan psiko-spiritual dalam diri seseorang untuk mampu menerima beban itu (Qs. al-Baqarah [2]: 286).
Keempat, pertobatan atas dosa yang telah dilakukan kepada Tuhan. Orang yang lapang dada, akan sadar bahwa salah satu yang menjadikan kesulitan adalah dosa-dosa yang dilakukan manusia. Kadang kesulitan, yang sesungguhnya merupakan ujian itu, terjadi akibat kesalahan manusia.
Bila seseorang sadar sesuatu yang terjadi merupakan kesalahannya, maka ia akan meminta ampunan dari Allah. Aktivitas bertobat akibat kesalahan ini dicontohkan oleh Nabi Daud AS (Qs. Shâd [38]: 24) (Lihat pula 38: 34-35).
Kelima, pemaafan (forgiveness). Yaitu kesiapan memberi ampun/maaf bagi orang lain. Keterbukaan diri untuk memberi maaf kepada orang lain adalah tanda utama yang dapat segera ditangkap orang lain. Setiap kali menerima stimulasi yang tidak menyenangkan, Nabi Muhammad SAW selalu memiliki kesiapan untuk memberikan maaf orang yang menyakitinya.
Keenam, pencarian hikmah (seeking meaning). Yakni keyakinan akan adanya hikmah atau pelajaran di balik peristiwa. Orang yang sehat secara ruhani, akan dapat mengambil pelajaran bahwa di balik kesulitan ada pelajaran atau hikmah. Sementara orang-orang yang tidak sehat (munafik) tidak dapat mengambil pelajaran (Qs. at-Taubah [9]: 126).
Ketujuh, berpikir positif tentang masa depan (positive thinking). Berupa keyakinan akan adanya perbaikan keadaan setelah berlangsungnya keadaan yang tidak menyenangkan. Keadaan yang tidak menyenangkan pasti akan berlalu, dan akan datang keadaan yang menyenangkan, tentu saja melalui usaha (Qs. al-Insyirâh [94]: 5-6).
Faktor Pengaruh
Ada beberapa hal yang mempengaruhi tinggi rendahnya kelapangan dada seseorang. Yaitu:
a. Keimanan. Seseorang yang memiliki iman yang kokoh , akan percaya adanya takdir (ketentuan) baik dan buruk yang telah Allah tetapkan. Kalau seseorang selalu menyadari bahwa Allah menetapkan takdir ini, maka mereka cenderung bisa menerima segala ketentuan-Nya. Dan seseorang yang selalu beribadah adalah seseorang yang cenderung mengukuhkan iman terhadap takdir Allah.
b. Dzikir. Menurut Subandi (1997), dzikir akan menghasilkan perasaan lapang atau los (terbebas dari beban yang menghimpit). Salah satu aspek yang mempengaruhi hasil dari dzikir adalah sejauh mana kualitas dzikir yang dilakukan.
c. Tingkat penderitaan yang dialami. Berat ringannya penderitaan yang dialami seseorang, ikut serta mempengaruhi kelapangan dadanya. Penderitaan yang luar biasa berat, biasanya cenderung bisa diterima dengan lapang dada dibanding yang agak kurang berat.
d. Sumber penderitaan. Kalau sumber penderitaan karena ulah manusia, maka orang akan cenderung lebih sulit untuk berlapang dada. Sementara jika ia memahami bahwa penderitaan yang dialami berasal dari Tuhan, maka ia cenderung berlapang dada.
e. Usia. Orang yang berusia memasuki Lansia, cenderung lebih bisa menerima penderitaan daripada orang yang lebih muda. Ini berkat perbandingan banyaknya pengalaman hidup.
f. Lingkungan. Orang yang berada dalam lingkungan yang terlatih untuk berhadapan dengan suasana tidak menyenangkan, akan lebih besar kelapangan dadanya dibanding mereka yang berada dalam lingkungan yang tidak melatih mereka untuk menerima beragam situasi. Pondok pesantren adalah lingkungan yang melatih anak didik untuk terbiasa hidup prihatin.
Dzikir dan Lapang Dada
Aktivitas keagamaan memberi peluang pada seseorang untuk memperluas diri atau berlapang dada. Berdzikir, membaca al-Qur`an dan berdoa, dapat melapangkan dada seseorang. Dzikir yang dijalani seseorang secara berkualitas, akan membantu pembentukan wadah psiko-spiritual yang luas dalam sistem kepribadian seseorang.
Wadah psiko-spiritual yang luas, dapat digambarkan sebagai danau yang luas. Jika seseorang memiliki danau yang luas dalam jiwanya, maka mereka akan menganggap kotoran yang masuk ke danau tersebut tidak berarti.
Maksudnya, bila seseorang memiliki wadah psiko-spiritual yang luas, maka ia tak akan serta merta menjadi marah besar, putus asa, atau stres, manakala menghadapi musibah atau peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan.
Namun, kalau wadah psiko-spiritual seseorang sempit, misalnya sesempit gelas, maka bila ada kotoran atau polusi menghambat, mereka akan merasakan adanya pengaruh buruk kehadiran benda-benda tersebut. Adanya danau yang luas, dipengaruhi oleh aktivitas ibadah dan perilaku sehari-hari seseorang. Salah satu aktivitas ibadah yang penting adalah berdzikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar